Friday 4 December 2015

KITA DAN AIR MATA



Ruang kehidupan kita diwarnai berbagai aspek yang mempengaruhi cara kita memaknai setiap peristiwa dalam hidup.  Eksistensi kita sebagai pribadi pula di warnai oleh pengaruh yang melanda kenyataan yang kita jumpai setiap harinya. Kenyataan-kenyataan yang ada tidak sedikit  mengarahkan kita kepada ruang kehancuran moral seakan melemahkan kita sebagai manusia berakal. Membiarkan kehancuran itu mengakar dalam segala lini kehidupan manusia dan kita pun menepi seakan tak mampu melawan. Kita pun dibiarkan membisu dibawah naungan kehampaan yang mengarahkan kita kepada kehilangan eksistensi individu sejati. Kita benar-benar disibukkan menemukan jati diri dalam hiruk-pikuk kebisingan yang sejatinya sudah mulai suram dan tak bermakna oleh karena persoalan pelik meliliti jiwa dan raga yang seakan rapuh dan tak mampu bangkit. Segala rasa baik yang abstrak maupun non abstrak telah kita lalui dalam  mengarungi lautan kehidupan, menghadirkan luka dalam yang tak mampu sehari terobati, selalu datang dan pergi tak membekas berarti dan memaksakan kita keluar dari lingkaran, mencari penenang (pain killer) untuk mengobati luka yang telah menganga. 

Kita dan kursi kekuasaan (penguasa)

Indonesia sebagai Negara penganut Demokrasi yang pada hakekatnya mengarahkan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban (K B B I). Namun apa yang terjadi, seakan esensi Demokrasi hanyalah benang kusut yang pelik untuk dijalani rakyat, dimana Rakyat hanya dapat dijadikan sebagai kambing hitam akan segala kebijakan tidak terarah, kita terpesona oleh estetika komunikasi elite yang seolah-olah mengandung pesan merakyat, untuk mengelabui yang sejatinya kebijakan itu hanya topeng kepalsuan dimana terimplisit seonggokan beban yang harus dipikul rakyat banyak. Di balik segala kebijakkan yang ada banyak unsur yang berujung pada penyandraan batin rakyat. Bermula tebar pesona, meluluhkan banyak hati yang keras dan kontra, namun tidak disadari kita telah di racun oleh rayuan menggoda mematikan. Kursi empuk di penuhi bandit-bandit berdasi, menari dibawah  payung penderitaan Rakyat seolah tak berdosa, melupakan segala ucap merakyat, menjadikan jabatan sebagai ladang mengais rezeki, kerakusan dan ketamakan seakan prioritas yang menggerogoti jiwa dan pikiran mereka sehingga tak dapat dipungkiri melahirkan air mata bagi rakyat yang tak membekas dengan kata lain air mata batin. Rakyat hanya menonton kemonotonan penguasa dari kursi usang, berharap bergegas melepas keterpurukan dari segala arogansi tak memihak. Membiarkan lidah tak bertulang mengumbar asa, membiarkan telinga mendengar segala kebobrokan dan membiarkan mata melihat segala keterpurukkan melanda, hanya batin yang selalu merasa akan segala hal yang tak seharusnya dirasakan.
Apa dan siapa yang dipersalahkan ???
Coba kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.
 Chord virgoun : surat cinta untuk starla

No comments:

Post a Comment