Ruang
kehidupan kita diwarnai berbagai aspek yang mempengaruhi cara kita memaknai
setiap peristiwa dalam hidup. Eksistensi
kita sebagai pribadi pula di warnai oleh pengaruh yang melanda kenyataan yang
kita jumpai setiap harinya. Kenyataan-kenyataan yang ada tidak sedikit mengarahkan kita kepada ruang kehancuran
moral seakan melemahkan kita sebagai manusia berakal. Membiarkan kehancuran itu
mengakar dalam segala lini kehidupan manusia dan kita pun menepi seakan tak
mampu melawan. Kita pun dibiarkan membisu dibawah naungan kehampaan yang
mengarahkan kita kepada kehilangan eksistensi individu sejati. Kita benar-benar
disibukkan menemukan jati diri dalam hiruk-pikuk kebisingan yang sejatinya sudah
mulai suram dan tak bermakna oleh karena persoalan pelik meliliti jiwa dan raga
yang seakan rapuh dan tak mampu bangkit. Segala rasa baik yang abstrak maupun
non abstrak telah kita lalui dalam
mengarungi lautan kehidupan, menghadirkan luka dalam yang tak mampu
sehari terobati, selalu datang dan pergi tak membekas berarti dan memaksakan
kita keluar dari lingkaran, mencari penenang (pain killer) untuk mengobati luka yang telah menganga.
Kita
dan kursi kekuasaan (penguasa)
Indonesia
sebagai Negara penganut Demokrasi yang pada hakekatnya mengarahkan gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban (K B B I). Namun apa yang terjadi, seakan esensi Demokrasi
hanyalah benang kusut yang pelik untuk dijalani rakyat, dimana Rakyat hanya dapat
dijadikan sebagai kambing hitam akan segala kebijakan tidak terarah, kita
terpesona oleh estetika komunikasi elite yang seolah-olah mengandung
pesan merakyat, untuk mengelabui yang sejatinya
kebijakan itu hanya topeng kepalsuan dimana terimplisit seonggokan beban yang harus
dipikul rakyat banyak. Di balik segala kebijakkan yang ada banyak unsur yang
berujung pada penyandraan batin rakyat. Bermula tebar pesona, meluluhkan banyak
hati yang keras dan kontra, namun tidak disadari kita telah di racun oleh
rayuan menggoda mematikan. Kursi empuk di penuhi bandit-bandit berdasi,
menari dibawah payung penderitaan Rakyat
seolah tak berdosa, melupakan segala ucap merakyat, menjadikan jabatan sebagai
ladang mengais rezeki, kerakusan dan ketamakan seakan prioritas yang
menggerogoti jiwa dan pikiran mereka sehingga tak dapat dipungkiri melahirkan
air mata bagi rakyat yang tak membekas dengan kata lain air mata batin. Rakyat
hanya menonton kemonotonan penguasa dari kursi usang, berharap bergegas melepas
keterpurukan dari segala arogansi tak memihak. Membiarkan lidah tak bertulang
mengumbar asa, membiarkan telinga mendengar segala kebobrokan dan membiarkan
mata melihat segala keterpurukkan melanda, hanya batin yang selalu merasa akan
segala hal yang tak seharusnya dirasakan.
Apa
dan siapa yang dipersalahkan ???
No comments:
Post a Comment